Beriman kepada Takdir
Kaum muslimin yang semoga dimuliakan oleh Allah ta’ala, salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh setiap muslim adalah beriman kepada takdir baik maupun buruk.
Perlu diketahui bahwa beriman kepada takdir ada empat tingkatan:
- Beriman kepada ilmu Allah yang ajali sebelum segala sesuatu itu ada. Di antaranya seseorang harus beriman bahwa amal perbuatannya telah diketahui (diilmui) oleh Allah sebelum dia melakukannya.
- Mengimani bahwa Allah telah menulis takdir di Lauhul Mahfuzh.
- Mengimani masyi’ah (kehendak Allah) bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah karena kehendak-Nya.
- Mengimani bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu. Allah adalah Pencipta satu-satunya dan selain-Nya adalah makhluk termasuk juga amalan manusia.
Dalil dari tingkatan pertama dan kedua di atas adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apakah
kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang
ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam
sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah
bagi Allah.” (QS. Al Hajj [22]: 70). Kemudian dalil dari tingkatan ketiga di atas adalah firman Allah (yang artinya), “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81]: 29). Sedangkan untuk tingkatan keempat, dalilnya adalah firman Allah (yang artinya), “Allah menciptakan kamu dan apa saja yang kamu perbuat.” (QS. Ash-Shaffaat [37]: 96). Pada ayat ‘Wa ma ta’malun’ (dan apa saja yang kamu perbuat) menunjukkan bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah.
Macam-Macam Takdir
Takdir itu ada 2 macam:
[1] Takdir umum mencakup segala yang ada.
Takdir ini dicatat di Lauhul Mahfuzh. Dan Allah telah mencatat takdir
segala sesuatu hingga hari kiamat. Takdir ini umum bagi seluruh makhluk.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
yang pertama kali diciptakan Allah adalah qalam (pena). Allah berfirman
kepada qalam tersebut, “Tulislah”. Kemudian qalam berkata, “Wahai
Rabbku, apa yang akan aku tulis?” Allah berfirman, “Tulislah takdir
segala sesuatu yang terjadi hingga hari kiamat.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud).
[2] Takdir yang merupakan rincian dari takdir yang umum. Takdir ini terdiri dari:
(a) Takdir ‘Umri yaitu takdir sebagaimana terdapat pada hadits
Ibnu Mas’ud, di mana janin yang sudah ditiupkan ruh di dalam rahim
ibunya akan ditetapkan mengenai 4 hal: (1) rizki, (2) ajal, (3) amal,
dan (4) sengsara atau berbahagia.
(b) Takdir Tahunan yaitu takdir yang ditetapkan pada malam lailatul qadar mengenai kejadian dalam setahun. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44]: 4). Ibnu Abbas mengatakan, “Pada malam lailatul qadar, ditulis pada ummul kitab segala kebaikan, keburukan, rizki dan ajal yang terjadi dalam setahun.” (Lihat Ma’alimut Tanzil, Tafsir Al Baghowi)
Seorang muslim harus beriman dengan
takdir yang umum dan terperinci ini. Barangsiapa yang mengingkari
sedikit saja dari keduanya, maka dia tidak beriman kepada takdir. Dan
berarti dia telah mengingkari salah satu rukun iman yang wajib diimani.
Salah Dalam Menyikapi Takdir
Dalam menyikapi takdir Allah, ada yang mengingkari takdir dan ada pula yang terlalu berlebihan dalam menetapkannya.
Yang pertama ini dikenal dengan Qodariyyah.
Dan di dalamnya ada dua kelompok lagi. Kelompok pertama adalah yang
paling ekstrem. Mereka mengingkari ilmu Allah terhadap segala sesuatu
dan mengingkari pula apa yang telah Allah tulis di Lauhul Mahfuzh.
Mereka mengatakan bahwa Allah memerintah dan melarang, namun Allah tidak
mengetahui siapa yang taat dan berbuat maksiat. Perkara ini baru saja
diketahui, tidak didahului oleh ilmu Allah dan takdirnya. Namun kelompok
seperti ini sudah musnah dan tidak ada lagi.
Kelompok kedua adalah yang menetapkan ilmu
Allah, namun meniadakan masuknya perbuatan hamba pada takdir Allah.
Mereka menganggap bahwa perbuatan hamba adalah makhluk yang berdiri
sendiri, Allah tidak menciptakannya dan tidak pula menghendakinya.
Inilah madzhab mu’tazilah.
Kebalikan dari Qodariyyah adalah kelompok
yang berlebihan dalam menetapkan takdir sehingga hamba seolah-olah
dipaksa tanpa mempunyai kemampuan dan ikhtiyar (usaha) sama
sekali. Mereka mengatakan bahwasanya hamba itu dipaksa untuk menuruti
takdir. Oleh karena itu, kelompok ini dikenal dengan Jabariyyah.
Keyakinan dua kelompok di atas adalah
keyakinan yang salah sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di
antaranya adalah firman Allah (yang artinya), “(yaitu) bagi siapa di
antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah,
Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81]: 28-29). Ayat ini secara tegas membantah pendapat yang salah dari dua kelompok di atas. Pada ayat, “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk jabariyyah
karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak (pilihan) bagi
hamba. Jadi manusia tidaklah dipaksa dan mereka berkehendak sendiri.
Kemudian pada ayat selanjutnya, “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam” merupakan bantahan untuk qodariyyah
yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan
diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa tergantung pada kehendak Allah.
Ini perkataan yang salah karena pada ayat tersebut, Allah mengaitkan
kehendak hamba dengan kehendak-Nya.
Keyakinan yang Benar Dalam Mengimani Takdir
Keyakinan yang benar adalah bahwa semua bentuk ketaatan, maksiat, kekufuran dan kerusakan terjadi dengan ketetapan Allah
karena tidak ada pencipta selain Dia. Semua perbuatan hamba yang baik
maupun yang buruk adalah termasuk makhluk Allah. Dan hamba tidaklah
dipaksa dalam setiap yang dia kerjakan, bahkan hambalah yang memilih
untuk melakukannya.
As Safariny mengatakan, “Kesimpulannya bahwa mazhab ulama-ulama terdahulu (salaf)
dan Ahlus Sunnah yang hakiki adalah meyakini bahwa Allah menciptakan
kemampuan, kehendak, dan perbuatan hamba. Dan hambalah yang menjadi
pelaku perbuatan yang dia lakukan secara hakiki. Dan Allah menjadikan
hamba sebagai pelakunya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah”
(QS. At Takwir [81]: 29). Maka dalam ayat ini Allah menetapkan kehendak
hamba dan Allah mengabarkan bahwa kehendak hamba ini tidak terjadi
kecuali dengan kehendak-Nya. Inilah dalil yang tegas yang dipilih oleh
Ahlus Sunnah.”
Sebagian orang ada yang salah paham dalam memahami takdir. Mereka menyangka bahwa seseorang yang mengimani takdir itu hanya pasrah tanpa melakukan sebab sama sekali.
Contohnya adalah seseorang yang meninggalkan istrinya berhari-hari
untuk berdakwah keluar kota. Kemudian dia tidak meninggalkan sedikit pun
harta untuk kehidupan istri dan anaknya. Lalu dia mengatakan, “Saya
pasrah, biarkan Allah yang akan memberi rizki pada mereka”. Sungguh ini
adalah suatu kesalahan dalam memahami takdir.
Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita
untuk mengimani takdir-Nya, di samping itu Allah juga memerintahkan kita
untuk mengambil sebab dan melarang kita bermalas-malasan. Apabila kita
telah mengambil sebab, namun kita mendapatkan hasil yang sebaliknya,
maka kita tidak boleh berputus asa dan bersedih karena hal ini sudah
menjadi takdir dan ketentuan Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersemangatlah
dalam hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah pada Allah dan
janganlah malas. Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu berkata:
‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’,
tetapi katakanlah: ‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah
ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya)
karena ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu) setan.” (HR. Muslim)
Buah Beriman Kepada Takdir
Di antara buah dari beriman kepada takdir
dan ketetapan Allah adalah hati menjadi tenang dan tidak pernah risau
dalam menjalani hidup ini. Seseorang yang mengetahui bahwa musibah itu
adalah takdir Allah, maka dia yakin bahwa hal itu pasti terjadi dan
tidak mungkin seseorang pun lari darinya.
Dari Ubadah bin Shomit, beliau pernah
mengatakan pada anaknya, “Engkau tidak dikatakan beriman kepada Allah
hingga engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan
engkau harus mengetahui bahwa apa saja yang akan menimpamu tidak akan
luput darimu dan apa saja yang luput darimu tidak akan menimpamu. Saya
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takdir itu demikian. Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak beriman seperti ini, maka dia akan masuk neraka.” (Shohih. Lihat Silsilah Ash Shohihah no. 2439)
Maka apabila seseorang memahami takdir
Allah dengan benar, tentu dia akan menyikapi segala musibah yang ada
dengan tenang. Hal ini pasti berbeda dengan orang yang tidak beriman
pada takdir dengan benar, yang sudah barang tentu akan merasa sedih dan
gelisah dalam menghadapi musibah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk sabar dalam menghadapi segala cobaan yang merupakan takdir Allah.
Ya Allah, kami meminta kepada-Mu surga
serta perkataan dan amalan yang mendekatkan kami kepadanya. Dan kami
berlindung kepada-Mu dari neraka serta perkataan dan amalan yang dapat
mengantarkan kami kepadanya. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu,
jadikanlah semua takdir yang Engkau tetapkan bagi kami adalah baik. Amin Ya Mujibbad Da’awat.
Sumber Rujukan Utama:
[1] Al Irsyad ila Shohihil I’tiqod, Syaikh Fauzan Al Fauzan
[2] Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
[1] Al Irsyad ila Shohihil I’tiqod, Syaikh Fauzan Al Fauzan
[2] Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar